Hooliganisme di Inggris yang Mendarah Daging sudah tak bisa dipungkiri lagi, tawuran, kekerasan dan kerusuhan merupakan sisi gelap sepak bola yang sering terjadi. Ulah suporter nakal yang berujung kekacauan membuat stigma sepak bola adalah olah raga yang rawan terjadi kericuhan terbentuk. Terlebih kejadian seperti ini selalu menarik perhatian media massa dengan membuat judul headline yang bisa mempengaruhi pandangan masyarakat.
Sejatinya, sepak bola adalah olah raga yang mempersatukan para penggemarnya. Tapi fanatisme berlebihan yang ditunjukkan oleh suporter membuat persaingan tak cuma diperlihatkan di lapangan oleh para pemain. Melainkan di tribun, di mana kedua kudu suporter saling adu ejekan dan cemoohan.
Bagi mereka yang mengaku sebagai suporter tim sepak bola, hal seperti ini dinilai biasa. Mencemooh pemain lawan merupakan salah satu fungsi suporter sebagai pemain ke-12. Tapi, berawal dari ejekan itulah yang ternyata bisa membuat dua kubu suporter baku hantam dan mengganggu jalannya pertandingan.
Bagi penyuka sepak bola, hooligan bukan lagi kata yang asing di telinga. Hooligan ini sejatinya merujuk pada suporter Inggris yang kerap membuat kerusuhan. Suporter garis keras ini akan melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan pengrusakan atau bertindak anarkis baik di dalam maupun di luar stadion.
Jauh sebelum sepak bola setenar sekarang, Raja Inggris Edward II sempat khawatir dengan sekumpulan orang yang menendang-nendang kemih babi yang digunakan sebagai bola. Edward takut kalau nantinya permainan ini bakal mengganggu ketenangan umum. Saat itu tahun 1314 dan Edward II memutuskan untuk melarang masyarakatnya untuk bermain sepak bola. Kekhawatiran Raja Edward II akhirnya terbukti ketika sepak bola Inggris diguncang dengan maraknya aksi hooliganisme lebih dari lima abad kemudian.
Sebutan hooligan sendiri sudah ada sejak akhir era 1800an. Saat itu sebutan ini dipakai untuk suporter era sepak bola Perang Dunia II yang kerap membuat onar. Saat itu, kata hooligan tidak dipakai untuk suporter selain sepak bola. Misalkan ada suporter basket yang melakukan kerusuhan di pertandingan basket, maka suporter itu tidak bisa dikatakan sebagai hooligan.
Ada beberapa teori yang menyebutkan asal-usul kata hooligan ini berasal. Beberapa teori yang populer menyebutkan, kata ini berasal dari sebuah keluarga asal Irlandia yang tinggal di London. Mereka kerap berbuat rusuh yang kemudian menjadi inspirasi lahirnya kata hooligan. Keluarga tersebut memiliki nama 'Houlihan'. Keluarga ini disebut menjalankan geng yang dikenal dengan tindakan anarkisnya. Hingga akhirnya, kata hooligan dipakai untuk menyebut seorang penjahat.
Penyebab suporter bisa frustasi yang mengakibatkan tindakan hooliganisme
Sebelum membahas jauh tentang hooligan, mungkin banyak pertanyaan yang muncul dari orang awam, ketika melihat ada keributan yang disebabkan oleh suporter. Kenapa sih mereka sampai tega melakukan tindakan anarkis? Jika dilihat, sepak bola ini sebenarnya cuma olahraga. Juga pertandingan hanyalah game, di mana pasti ada yang menang dan ada yang kalah.
Namun, jika kamu jadi penggemar sepak bola, pasti merasakan betapa frustasinya ketika tim mengalami prestasi buruk dan sering mendapat kekalahan. Selain itu, setiap momen dalam pertandingan juga bisa mempengaruhi psikologis seorang suporter. Momen tersebut seperti ketika tim sedang mengalami ketertinggalan, membuang banyak peluang sia-sia sampai permainan tim yang membosankan.
Nah, semua momen itu membuat emosi para suporter menumpuk. Lalu bayangkan yang memiliki perasaan itu tidak hanya satu orang, melainkan banyak orang di dalam kelompok yang merasakan emosi yang sama. Situasi ini menjadikan satu kelompok meluapkan emosinya dan berujung melakukan tindakan anarkis di stadion.
Selain itu, ada pengaruh psikologis ketika kamu berada di kerumunan dan merasakan atmosfer ketegangan karena luapan emosi mayoritas orang di sekeliling. Kamu yang tadinya baik-baik saja atau paling tidak bisa menahan emosi, kemudian lama-lama pasti bakal tersulut juga karena pengaruh situasi.
Lalu tindakan hooliganisme terjadi bisa juga karena latar belakang suporter yang mayoritas berasal dari kelas pekerja. Di Inggris, kelas pekerja adalah kelas sosial yang merupakan bagian besar di masyakarat. Sementara orang-orang dari kelas sosial ini banyak yang memilih menggemari sepak bola karena tiket pertandingannya yang cenderung lebih murah daripada olahraga lainnya.
Jika dibandingkan dengan kriket, rugby atau balap kuda yang mayoritas penyukanya adalah kelas sosial menengah, kelakuan suporter sepak bola dan penyuka olahraga ini sangat berbeda. Sangat-sangat jarang ada berita yang mengabarkan kalau ada kerusuhan atau aksi anarkis yang dilakukan suporter kriket atau rugby di stadion.
Sejarah juga mencatat, kelas pekerja adalah kelas sosial yang paling sering berkelahi di Inggris. Selama era 1800an, banyak terlihat perkelahian-perkelahian yang ditemukan di sudut-sudut jalanan Inggris. Perkelahian ini sebagian besar disebabkan oleh alkohol. Kota-kota kecil di Inggris banyak sekali bertebaran pub yang menyediakan alkohol. Coba tebak, kapan pub ini ramai dikunjungi oleh pengunjung? Tentu saja mulai akhir pekan antara Jumat, Sabtu dan Minggu.
Pada hari-hari itu, pub bakal dipenuhi oleh orang dari kelas sosial pekerja yang menikmati alkohol sambil nonton bareng pertandingan sepak bola. Apakah mereka suporter? Tentu saja. Mereka yang kehabisan tiket pertandingan pasti akan lari ke pub-pub untuk menonton pertandingan di sana sambil mabuk.
Deretan aksi hooliganisme di Inggris
Sebuah pertandingan yang mempertemukan Preston North End kontra Aston Villa pada 1885, tercatat di buku sejarah sebagai pertandingan dengan aksi hooliganisme yang cukup parah. Saat itu Preston menang 5-0 atas Villa. Usai peluit akhir dibunyikan, penonton menggila. Kedua tim dilempari dengan batu, diserang dengan tongkat, dipukul dan diludahi. The Guardian menyebutkan, salah satu pemain Preston bahkan digebuki dengan brutal oleh para suporter hingga tak sadarkan diri.
Suporter Preston North End juga mencetak sejarah sebagai suporter yang melakukan aksi hooliganisme di luar pertandingan sepak bola. Peristiwa ini terjadi setahun setelah kerusuhan dengan suporter dan pemain Aston Villa. Oknum suporter Preston menyerang suporter Queens Park Rangers (QPR) di stasiun. Padahal hari itu tidak ada jadwal pertandingan yang mempertemukan Preston dan juga QPR.
Pada 1978, kerusuhan pecah di Stadion The Den, London. Terjadi keributan suporter usai pertandingan perempat final FA Cup 1978 yang mempertemukan Millwall dan Ipswich Town. Bau-bau kerusuhan sudah mulai tercium sejak menit ke-19 pertandingan. Wasit sempat menghentikan pertandingan karena suasana tribun Stadion The Den tak kondusif dengan keributan yang dilakukan kedua kubu suporter.
Pertandingan dilanjutkan dengan hasil kemenangan untuk Ipswich. Kemudian kerusuhan juga ikut lanjut mulai dari tribun, masuk ke lapangan hingga menyebar sampai ke luar stadion. Botol, pisau, batang besi sampai pecahan beton dipakai sebagai senjata dalam keributan antar suporter ini.
Puncak aksi hooliganisme terjadi pada Mei 1985. Peristiwa ini dikenal sebagai Tragedi Heysel. Pada final Champions Cup 1985, mempertemukan antara Liverpool dan Juventus di Stadion Heysel, Brussel, Belgia. Kerusuhan ini bermula dari kedua kubu suporter yang saling ejek. Hingga akhirnya suporter Juventus melemparkan kembang api ke arah tribun suporter Liverpool.
Aksi ini memicu amarah suporter Liverpool. Mereka akhirnya memaksa merangsek masuk ke area tribun suporter Juventus dengan memanjatkan pagar pembatas. Tragedi benar-benar terjadi setelah dinding pembatas sektor tersebut roboh karena tak kuasa menahan banyaknya orang yang memaksa masuk. Ratusan orang tertimpa runtuhan dinding stadion. Tragedi ini menyebabkan 39 suporter meninggal dunia dan 600 lainnya luka berat.
Pertandingan panas di luar Inggris yang rawan menyebabkan aksi hooliganisme
Saat ini, kata hooliganisme umum dipakai sebagai sebutan kerusuhan yang terjadi akibat dari ulah suporter sepak bola. Tak cuma di Inggris, banyak juga media internasional yang menyebut hooliganisme ketika ada kerusuhan suporter meski yang melakukan bukan suporter dari klub Inggris.
Dengan hooliganisme yang semakin meluas ke luar Inggris, bisa dilihat cukup banyak pertandingan di luar Inggris yang rawan terjadi aksi hooliganisme suporter. Peristiwa yang paling sering terjadi di Skotlandia adalah perang antar suporter Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers.
Selain berasal dari daerah yang sama, ketegangan dua suporter ini ternyata mendapat pengaruh dari perbedaan agama juga. Celtic dianggap klub yang mewakili agama Katolik, sementara Rangers mewakili Protestan. Setiap pertandingan derby ini selalu menghasilkan atmosfer yang panas. Aksi hooliganisme juga sering terjadi yang kebanyakan berawal dari saling ejek antar suporter.
Sementara itu di Italia, derby tim sekota AC Milan dan Inter Milan selalu menyajikan pertandingan menarik di lapangan. Namun di tribun, seringkali ada aksi anarkis yang dilakukan suporter kedua klub. Selain karena memang rival sekota, perang antar suporter juga tak lepas dari status AC Milan yang diklaim mewakili kaum miskin, sementara Inter Milan mewakili kaum kaya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Tentu saja aksi kekerasan suporter juga seringkali terjadi. Kebanyakan memang kericuhan itu pecah karena sejarah rivalitas antar suporter. Sebut saja suporter Persija Jakarta dan Persib Bandung, PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta yang merupakan tim dari satu provinsi atau juga Arema dan Persebaya Surabaya.
Kelompok hooligan paling ditakuti di Inggris
Entah ini sebuah prestasi atau apa disebutnya, namun ada beberapa kelompok hooligan yang memiliki reputasi paling menakutkan di Inggris. Predikat ini diukur dari seberapa sering mereka terlibat kerusuhan, jumlah musuh yang dimiliki sampai senekat apa dalam melakukan aksi hooliganisme.
Millwall Bushwackers menjadi salah satu hooligan yang bisa dibilang sangat disegani. Bagai tak ada kapoknya, mereka hampir bikin onar pada setiap pertandingan Millwall. Tingkah anarkisnya ini mulai terkenal pada awal era 1900an. Stadion The Den, kandang Millwall, akibatnya sering ditutup karena ulah kelompok hooligan ini.
Akibat kerusuhan yang diciptakan suporter Millwall kemudian berujung penutupan stadion pada 1906, 1934, 1947 dan 1950. Aksi yang mereka lakukan pun beragam. Mulai dari suporter yang masuk ke lapangan, ricuh di tribun, memukul wasit dan lain-lain.
Millwall Bushwackers setidaknya memiliki 92 musuh dari kelompok suporter berbeda di Inggris. Mereka tak cuma berani ribut dengan suporter tim lain, Millwall Bushwackers juga tak gentar membuat perkara dengan polisi. Rentetan aksi hooliganisme ini membuat suporter lain bakal memilih mundur daripada harus berurusan dengan biang paling ricuh di Inggris.
Pada era 70an dan 80an, hooliganisme tak cuma terjadi di stadion melainkan di sudut-sudut jalan dan gang sempit di Inggris. Saat itu adalah masa gelap aksi hooliganisme di Inggris sejak disusupi oleh gerakan sayap kanan. Mereka secara aktif merekrut suporter sepak bola demi tujuan mereka yakni membuat rusuh di dalam maupun luar stadion.
Para suporter sepak bola ini juga ikut andil dalam Perang Falkland. Perang ini membuat industri batu bara, pabrik baja dan pabrik pakaian ditutup. Kemudian membuat negara menjadi kekurangan sumber daya. Ekonomi Inggris sempat goyah dan masyarakatnya meluapkan emosi akan kekesalannya dengan melakukan kekerasan di pertandingan sepak bola.
Namun, hooliganisme sendiri sempat tenang antara 1918 dan 1939. Pada tahun tersebut, Inggris sedang aktif berperang yang membuat para masyarakat sibuk melayani negaranya. Hampir tidak ada hooliganisme yang dilaporkan terjadi. Mereka sama sekali tak ada niatan untuk berbuat onar pada pertandingan sepak bola.
Seiring berjalannya waktu, generasi suporter mulai berganti. Generasi baru ini tidak mengalami rasanya berperang untuk negara. Sekali lagi, hooliganisme kembali muncul di sepak bola Inggris.
Hooliganisme adalah aib buruk bagi sepak bola Inggris. Tapi hooliganisme merupakan jati diri kelompok suporter garis keras demi mengukur ketangkasan mereka. Pemikiran seperti ini sudah mendarah daging yang sangat sulit untuk diubah. Sosok yang bisa mengubahnya, ya suporter itu sendiri. Kalau mau kekerasan hilang dari olahraga ini, harus dimulai dari diri kamu sendiri wahai suporter sepak bola.
Comments